Bagi sebagian orang yang sudah terbiasa tilawah dengan quran Indonesia, akan kebingungan/pusing ketika membaca quran Madinah. Biasanya karena tidak familiar dengan bentuk hamzah washol (ٱ) yang hampir selalu ada di setiap baris, sehingga beranggapan quran Madinah terlihat lebih ‘ramai’.
Lain hal bagi yang terbiasa tilawah dengan quran Madinah, karena sudah paham dengan dasar (default) penulisan Al-Quran sehingga tidak kebingungan ketika membaca quran Indonesia yang sudah ‘dimodifikasi’.
Bisa diperhatikan bagaimana perbedaan tampilan surat Al-Fatihah pada quran Madinah dan Indonesia:
Perhatikan lingkaran di atas, hamzah washol di ayat 2, 3 dan 6 pada quran Madinah bentuknya sama persis. Sedangkan pada quran Indonesia, hamzah washolnya sudah dimodifikasi, menjadi alif berharokat fathah pada ayat 2, alif tanpa harokat pada ayat 3 dan alif berharokat kasroh pada ayat 6.
Secara cepat memang membaca quran Indonesia menjadi lebih mudah, sedangkan untuk membaca quran Madinah pembacanya harus memahami kaidah hamzah washol terlebih dahulu. Permasalahan atau perbedaan yang terjadi ialah ketika ingin menyambungkan 2 ayat dalam sekali nafas, misal ayat 5 disambung ke ayat 6.
Bagi pembaca quran Madinah yang paham dengan kaidah hamzah washol, yakni huruf hamzah washol tidak dibaca (diabaikan) jika berada di tengah bacaan, sehingga membacanya menjadi “nasta’iinuhdina” :
Sedangkan bagi pembaca quran Indonesia, jika ingin membaca ayat 5 disambung ke ayat 6 dan membaca sesuai dengan teks pada quran maka membacanya menjadi “nasta’iinu-ihdina” :
Sudah terlihat kan perbedaannya? Mungkin secara makna tidak jauh berbeda antara “nasta’iinuhdina” dan “nasta’iinu-ihdina“, namun perlu diingat salah satu yang membedakan Al-Quran dengan hadits atau matan lainnya ialah Al-Quran wajib dibaca dengan kaidah ilmu tajwid agar bernilai pahala. Lalu bagaimana kaidah ilmu tajwid dalam menyambungkan kedua ayat tersebut?
Karena pada quran Madinah, awal ayat 6 di surat Al-Fatihah terdapat hamzah washol maka pembacanya harus memahami kaidah ilmunya. Berikut penjelasan mengenai hamzah washol:
Setelah memahami kaidah hamzah washol tersebut, maka pembaca quran Madinah bisa menyesuaikan apakah hamzah washol pada awal ayat 6 tersebut dibaca berharokat kasroh (jika tidak disambung dari ayat sebelumnya) atau tidak dibaca (jika disambung dari ayat sebelumnya).
Selanjutnya pada quran Indonesia, karena tidak ada hamzah washol maka kaidah dalam menyambungkan bacaan ialah dengan memperhatikan tanda waqofnya. Jika diperhatikan, quran Indonesia memiliki tanda waqof lebih banyak dibandingkan quran Madinah dan hampir selalu ada di setiap akhir ayatnya. Pada akhir ayat 5 di surat Al-Fatihah terdapat tanda waqof ‘قلي’ yang berarti -diutamakan berhenti namun boleh lanjut-, sehingga hamzah washol diubah menjadi alif berharokat kasroh pada awal ayat 6 karena beranggapan para pembacanya tidak akan menyambungkan kedua ayat tersebut.
Berbeda dengan tanda waqof di akhir ayat 2 yaitu ‘لا’ yang berarti -dilarang berhenti- sehingga hamzah washol di awal ayat 3 tidak diberi harokat karena beranggapan para pembacanya akan menyambungkan kedua ayat tersebut.
Mungkin surat Al-Fatihah masih familiar jika dibaca sambung antar ayatnya karena sering dibaca oleh Imam sholat, lalu bagaimana jika di ayat lain?
Mari perhatikan surat Al-Anfal ayat 60 berikut:
Mari kita perhatikan terlebih dahulu tulisan pada warna kuning di atas. Perbedaannya berada di harokat huruf م sebelum lafaz اللّه dan hamzah washol pada lafaz اللّه. Karena perbedaan hamzah washol sudah dibahas di atas, maka sekarang kita bahas huruf م nya saja. Pada quran Madinah huruf م berharokat dhommah, sedangkan pada quran Indonesia berharokat sukun. Mengapa bisa berbeda?
Karena quran Madinah adalah default penulisan, maka penulisannya tidak akan berubah. Dimanapun waqofnya, mau di waqof (berhenti) atau di washol (sambung) bacaannya, tidak akan ada yang berubah secara penulisan, yang berubah adalah pelafalannya. Sedangkan pada quran Indonesia, penulisannya sudah dimodifikasi sesuai dengan pelafalannya.
Jika dilihat pada quran Indonesia, di atas huruf م terdapat tanda waqof ج yang berarti -boleh berhenti juga boleh lanjut-. Jika berhenti maka tidak ada masalah, karena pelafalannya dapat mengikuti penulisannya, namun melihat tanda waqof yang berdekatan seperti itu apakah pembacanya pasti akan berhenti?
Dan jika dilanjut, pastikan pembacanya sudah paham bagaimana harus menyambungnya yaitu menjadi “laa ta’lamuunahumullahu” bukan “laa ta’lamunahum-allahu”. Bagaimana jika pembacanya tidak paham? Maka dari itu sebaiknya setiap tanda waqof selain ‘لا’ diusahakan berhenti saja.
Dua contoh di atas merupakan sebagian kecil dari banyaknya perbedaan penulisan antara quran Madinah dan quran Indonesia. Maka dari itu, jika disimpulkan ada 3 hal mengapa quran Madinah lebih utama untuk dipelajari daripada quran Indonesia?
1. Penulisan quran Madinah bersifat default, sedangkan penulisan quran Indonesia bersifat modifikasi
2. Pada quran Madinah, ada tidaknya tanda waqof tidak berpengaruh kepada penulisan. Sedangkan pada quran Indonesia, ketika ada tanda waqof, bentuk penulisannya ada yang dimodifikasi dan ada yang tidak dimodifikasi, sehingga menimbulkan inkonsistensi pada tiap tanda waqof
3. Selain membaca, keutamaan lainnya seorang muslim terhadap Al-Quran ialah menghafalkannya. Quran Madinah sangat memudahkan para penghafal Al-Quran, karena para penghafal dapat memilih ingin waqof atau washol pada tanda ‘قلي & صلي ,ج’. Sedangkan pada quran Indonesia, karena penulisan yang sudah dimodifikasi dan inkonsistensi tersebut, penghafal harus lebih berhati-hati terutama jika ingin mewasholkan bacaan.
Disclaimer:
Penulis tidak mengatakan jangan membaca quran Indonesia, tetapi disini penulis ingin menyarankan agar para pembaca sebaiknya memahami penulisan quran yang bersifat default terlebih dahulu (quran Madinah) sehingga tidak bingung jika ingin membaca quran Madinah ataupun quran Indonesia.
Notes:
Waqof: memberhentikan bacaan
Washol: melanjutkan bacaan